Hasil berbagai pelatihan yang didapat Sigid dikembangkan dan kemudian dimodifikasi untuk program dan kurikulum di Yayasan Rawinala. Sistem pendidikannya pun ia bedakan dengan pendidikan sekolah untuk penyandang cacat yang ada.
Menurut Sigid, yayasannya tidak memakai kelas berjenjang atau naik kelas, tapi memakai kelas khusus yang disesuaikan dengan program dan usia siswa. Yayasan ini membuka kelas untuk anak usia dini hingga dewasa.
"Saat lulus dari sini mereka mempunyai keterampilan hidup yang optimal dan berkualitas, sebanyak mungkin ia mendapat keterampilan dalam hidupnya adalah tanda ia bisa," ujar Sigid yang mengaku Yayasan Rawinala satu-satunya yayasan pendidikan untuk ganda netra.
Yayasan Rawinala mempunyai empat program yang menjadi kurikulum pendidikannya atau disebut empat area. Pertama to life (hidup), to work (bekerja), to play (bermain), dan to love (menyayangi).
Sigid mengkritik model Kurikulum Pendidikan Luar Biasa yang masih menggunakan pendekatan Tujuan Intruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK). Menurut dia, model seperti itu kuno dan tidak kreatif. Guru-guru pendidikan luar biasa (PLB) tidak memahami problem secara jelas sehingga kegiatannya menjadi hanya rutinitas.
"Setiap guru di sini harus mempunyai planning agar murid tidak bosan dan stagnan, agar tahu apa yang harus dikerjakan. Karena kalau para pengajar tidak kreatif dan berpikir positif, mereka akan bosan juga menghadapi anak-anak itu," ujar Bendahara Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Indonesia ini.
Lambat laun Sigid merasakan kebutuhan Yayasan Rawinala semakin besar. Pengeluaran biaya tidak sedikit. Sementara pendapatannya hanya dari sumbangan donatur tidak tetap dan Pemda DKI Jakarta yang menutup 20% dari anggaran. "Bayangkan, tiap anak menghabiskan satu juta rupiah lebih per bulan untuk pendidikan dan hidup di sini. Belum lagi untuk membayar para guru dan karyawan. Sementara orang tua hanya bisa membayar 20 persen dari uang pendidikan per bulan," katanya.
Bapak dua anak ini pun nyaris bimbang dan putus asa di tengah tuntutan kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Tiga tahun lalu Sigid hampir saja memutuskan untuk keluar dari yayasan ini. Namun Sri Hanum Widistuti, istrinya, selalu memberikan motifasi dan masukan agar Sigid berpikir sebelum memutuskan niat itu. "Setelah saya pikir dan renungkan, ternyata ini memang sudah takdir Tuhan. Belum waktunya saya keluar. Mungkin sampai ada regenerasi yang bisa melanjutkan saya," katanya dengan nada rendah.
Sigid bersyukur karena kini teknologi semakin berkembang dan canggih. "Dulu kita tidak pernah berpikir seorang tunanetra bisa membaca. Sekarang siapa bilang orang lumpuh tidak bisa jalan, orang tunarungu tidak bisa mendengar, dan tunanetra tidak bisa melihat?" kata Sigid penuh semangat.
No comments:
Post a Comment