Monday, November 9, 2009

PERAN ORANGTUA TERHADAP PEMENUHAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN TUNANETRA GANDA

Oleh: Primaningrum A. Rustam, SKom

Kebutuhan akan pendidikan adalah hak azasi dari setiap insan di dunia ini. Tidak terkecuali bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Idealnya dunia anak-anak hanyalah bermain dan belajar, tanpa lagi dibebani oleh berbagai hal. Anak-anak dengan kebutuhan khusus tetap adalah anak-anak. Sehingga dunia mereka pun tidak jauh dari bermain dan belajar.

Buat masyarakat “awam”, masyarakat “normal” atau masyarakat “sempurna” pemberian hak “pendidikan” kepada anak-anak mereka mungkin saat ini sudah memiliki pakem sendiri. Dimana usia sekian masuk TK, usia sekian masuk SD, dan seterusnya. Semuanya sudah berjalan sesuai dengan rel dan semestinya.

Nah bagaimana dengan para orangtua yang memiliki anak-anak dengan kebutuhan khusus? Disinilah letak peran serta orangtua yang porsinya lebih besar, daripada porsi orangtua dengan anak-anak tanpa kebutuhan khusus.

Beberapa tahapan yang biasanya dilalui oleh orangtua sebelum berada pada pemenuhan akan kebutuhan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.

TAHAP KEBESARAN HATI
Hal yang manusiawi sekali bila setiap orangtua berkeinginan memiliki buah hati yang sehat walafiat, tanpa satu kekurangan apapun. Bahasa awamnya adalah memiliki anak yang “normal”, anak yang “sempurna”.

Sehingga jika orangtua yang diberi anugerah anak yang memiliki kebutuhan khusus. Pastilah perang batin, beribu andai, beribu pertanyaan, perasaan bersalah dan sebagainya berkecamuk. Disinilah diperlukannya kebesaran hati untuk ikhlas menerima anugrah Tuhan YME.

TAHAP PENGOBATAN
Sebagian besar orangtua banyak juga yang melewati tahapan ini. Upaya pengobatan sudah pasti akan diupayakan. Dari sisi medis hingga sisi non medis atau biasa disebut pengobatan alternatif.

Disinilah terkadang beberapa orangtua terlena. Terlalu fokus kepada upaya pengobatan tersebut.

TAHAP KESADARAN
Biasanya barulah kemudian orangtua berada pada sebuah tahapan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi anaknya yang memiliki kebutuhan khusus.
Tahapan-tahapan itu berbeda masanya pada tiap orangtua. Ada yang cepat sekali melewatinya, tetapi ada yang lambat melewatinya, bahkan beberapa kasus orangtua mengabaikan semua hal dan memilih bersikap apatis.

Cepat atau lambatnya orangtua melewati tahapan tersebut, banyak berdampak kepada tumbuh kembang anak juga dalam hal pemenuhan hak anak dalam pendidikan.

Beberapa kasus, karena lambatnya dari tahapan yang dilalui oleh orangtua, berdampak kepada “kecacatan sekunder” yang tidah harus terjadi. Bisa dimisalkan seperti, pada anak tunanetra, konsep “berjalan” tidak dimiliki dengan begitu saja. Anak tidak bisa melihat contoh dari “berjalan” itu apa. Keterlambatan penanganan dari orangtua, bisa berakibat anak lambat berjalan atau tidak bisa berjalan. Contoh kasus lain yang dialami oleh anak saya, pada usia 4 bulan balqiz menjalani pemeriksaan pada telinganya dan divonis menderita ketulian pada telinga kiri. Sehingga selain tunanetra balqiz juga dinyatakan tuli, sehingga diperlukan memakai alat bantu dengar. Tidak berhenti pada vonis tersebut, saya mengupayakan terapi musical. Diseluruh penjuru rumah saya memasang musik, sehingga kemana saja balqiz bergerak, dia berada dalam lingkungan “bersuara”. Alhamdulillah setahun kemudian, rupanya efek dari terapi tersebut membuahkan hasil, dan pendengaran balqiz dinyatakan normal.

Memiliki seorang anak tunanetra, memang membuat diri saya memaksa otak bekerja keras untuk memperolah sebanyak mungkin informasi sebanyak mungkin ilmu untuk membukakan jalan bagi anak. Minimnya buku panduan, minimnya sharing orangtua yang dipublikasikan membuat saya agak kesulitan. Sehingga hingga saat ini saya masih trial dan error dalam mendampingi anak saya, balqiz.

Saya berpendapat, sedini mungkin anak berkebutuhan khusus memperoleh pendidikan, akan banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh dari si anak. Terlebih dengan kondisi ketunaan ganda. Disatu sisi minimnya pengetahuan orangtua mengenai penanganan dan pendidikan si anak. Di satu sisi dengan orangtua belajar bersama-sama dengan anak dalam bimbingan guru di sekolah luar biasa, diharapkan memacu semangat dan kreatifitas orangtua dalam proses pembelajaran lanjutan dirumah.

Disinilah terkadang kendala terjadi. Orangtua menganggap sudah menyerahkan bimbingan anaknya kepada para guru disekolah, sehingga merasa hal itu sudah cukup dilakukan. Merasa bahwa segala sesuatunya bisa dilakukan oleh guru disekolah.

Peran orangtua sangat penting dalam segala proses belajar mengajar. Tidak hanya di rumah, tetapi juga di sekolah. Diperlukan juga komunikasi dua arah yang berkesinambungan sehingga kendala-kendala yang terjadi dirumah maupun disekolah bisa didiskusikan bersama dan dicarikan solusi yang terbaik buat penanganan anak selanjutnya.

Dan seharusnya pula, proses belajar mengajar tidak berhenti hanya di sekolah, dimana begitu sampai dirumah, anak tidak belajar dan orangtua pun tidak mewajibkan, karena sang orangtua merasa bahwa sudah cukup apa yang dipelajarin disekolah.

Untuk mendukung proses belajar mengajar ini, dengan kondisi anak tunanetra, orangtua juga harus belajar membaca tulis braille. Atau dengan kondisi anak tunarungu orangtua juga harus belajar bahasa isyarat. Dengan kondisi anak yang tunanetra ganda memang harus lebih ekstra lagi dalam proses belajar mengajar ini bagi orangtua. Dimana memang diperlukan banyak kerjasama dengan banyak pihak. Tentunya selain dengan guru, juga dengan terapis yang menangani anak.

Beberapa kasus pada teman-teman orangtua, saya menemui orangtua enggan belajar braille atau orangtua enggan belajar bahasa isyarat. Sehingga proses belajar mengajar akan terhenti saat dirumah. Kondisi seperti itu, sebenarnya secara tidak langsung membuat anak merasa frustasi/ patah arang jika berada dirumah. Dikarenakan dia dirumah tetapi tidak merasa berada dirumah. Dikarenakan merasa tidak bisa berkomunikasi dengan orangtua/ saudaranya.

Contoh kasus, dengan kondisi Balqiz yang tunanetra dan sempat menderita ketulian, saya memang harus belajar baca tulis braille, walaupun saya belum terlalu lancar juga tetapi saya memaksa seluruh orang didalam rumah agar bisa minimal membaca braille. Jadi dari saya, ayah Balqiz, hingga asisten dirumah pun beramai-ramai belajar braille. Dan banyak tempat juga yang saya tempelin dengan huruf-huruf braille. Sehingga Balqiz bisa mengetahui nama benda yang sedang dipegang sekaligus dia mengetahui ejaan dari barang tersebut. Dan karena sudah terbiasa dengan berbagai terapi musik yang diberikan, Balqiz punya ketertarikan yang cukup besar dengan nyanyian. Cukup banyak lagu anak-anak yang dikuasai.

Saya belum merasa sebagai orangtua yang sempurna, orangtua yang baik bagi anak saya, dan saya juga belum merasa mumpuni dalam menangani anak tunanetra. Saya sendiri masih dalam taraf belajar. Belajar bersama-sama Balqiz, masih trial & error juga dalam segala hal guna membuka jalan bagi masa depan Balqiz.

Tetap Berpikir positif salah satu kunci keberhasilan. Jangan pertanyakan apa yang tidak bisa dilakukan, tetapi lihat apa yang sudah bisa dilakukan***



makalah ini dibawakan dalam seminar dan lokakarya nasional "Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan Tunanetra Ganda Dalam Mewujudkan Pendidikan Untuk Semua Tahun 2015" kerjasama ICEVI dan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Rabu 28 Mei 2008

Thursday, October 22, 2009

Farewells...

Dalam 2 bulan terakhir, Rawinala harus merelakan kepergian 3 orang sahabat terkasih. Bagi mereka kami ucapkan selamat jalan, semoga Tuhan selalu melindungi dan memberkati setiap langkah mereka...

Yang pertama adalah David MacDermott, volunteer Fundraising dari Australian Youth Ambassador. David harus kembali ke negaranya, karena programnya telah selesai...
Selama masa tugasnya di Rawinala, David telah banyak memberi masukan dan saran yang berguna bagi perkembangan Rawinala. Thank you very much David, we will always remember you. Best of luck for your future and God bless you...


Yang berikutnya adalah Ibu Lena. Ibu Lena adalah PR & Fundraising pertama di Rawinala. Banyak terobosan-terobosan yang telah ia lakukan, dan itu semua dilakukannya untuk kemajuan Rawinala. Terima kasih Ibu Lena, atas usaha dan kerja keras yang telah Ibu lakukan bagi Rawinala. Sukses selalu, dan Tuhan memberkati...



Yang terakhir adalah Ibu Vira. Ibu Vira yang telah bekerja sebagai guru selama kurang lebih 8 tahun di Rawinala akan sangat kami rindukan. Dedikasi dan pelayanan yang telah ia kerjakan, akan selalu kami kenang. Terima kasih atas kasih dan pengorbanan Ibu Vira untuk Rawinala. Semoga Tuhan senantiasa memberikan yang terbaik untuk Ibu...

Thursday, August 27, 2009

Hasil Program Shelter Workshop




Anak-anak yang mengikuti program Shelter Workshop memasarkan hasil perkebunan kepada guru dan staff Rawinala

Perayaan 17-an




Orientasi Mobilitas ke Mekarsari

Anak-anak saat berada di Taman Buah Mekarsari

Shelter Workshop Program





Pertanyaan besar penyelenggaraan pendidikan luar biasa (PLB) di Indonesia adalah, apakah anak bisa bekerja setelah mereka menyelesaikan pendidikannya. Pertanyaan inilah yang selalu membuat gelisan bagi orangtua penyandang berkebutuhan khusus. Untuk mereka yang hanya mempunya “single disable”, barangkali masih ada banyak kemungkinan. Namun untuk mereka yang “multi disable visual impairment (MDVI)”, apakah juga punya kemungkinan yang sama.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mulai tahun ajaran 2009/2010, Rawinala memulai program barunya “Sheltered Workshop”, yaitu tempat kerja terlindung bagi penyandang MDVI. Program ini diperuntukkan bagi mereka yang telah menyelesaikan program sekolah. Memang tidak semua anak dapat masuk program ini, hanya untuk mereka yang sesuai dengat kriteria dasar yaitu dapat mengurus diri sendiri tanpa bantuan.

Untuk jenis kebutuhan khusus ini kecenderungannya tidak bisa bekerja sendiri, melainkan kerja dalam kelompok atau dalam pendampingan. Program yang akan dkembangkan di Rawinala adalah :

1. Perkebunan dan Tanaman hias serta sayuran organik, dengan menggunakan pupuk organik
yang dibuat sendiri.
2. Pengolahan barang-barang bekas, seperti botol dan gelas plastik untuk dijual.
3. Produksi telor asin.
4. Perikanan, saat ini yang sedang dikembangkan adalah ternak lele dan mujair.
5. Music Entertain, yaitu menyediakan group musik seperti campur sari dan band yang siap

diundang dalam acara-acara keluarga atau “event” tertentu.

Kebutuhan untuk menunjang kegiatan tersebut adalah :
1. Alat pencacah sampah organik.
2. Pembelian bibit tanaman dan sayuran
3. Peralatan kerja untuk berkebun.
4. Studio musik kedap suara. Tempat sudah tersedia untuk dijadikan studio musik
5. Landscaping (penataan tanah) untuk dijadikan “kebun sensori”. Lahan sudah tersedia.

Wednesday, June 10, 2009

Berita Duka Cita

Sekilas Tentang Rosita

Rosita lahir dengan orangtua Bapak Sahat Panggabean dan Ibu Grace Pelawi di Jakarta 16 Oktober 1997. Terlahir dengan banyak kebutuhan khusus, totaly blind, mampu mendengar tetapi tidak banyak kata-kata yang diekspresikannya, tulang keropos sehingga mudah patah, hidrocepalus tetapi sudah di operasi sejak kecil.., ada kecenderungan autis...,pigeon chest...dan beberapa lainnya.

Bisakah anda membayangkan jika mempunyai anak seperti ini?

Rasanya kalau mengandalkan kemampuan sendiri..rasanya sulit sekali menghadapi anak semacam ini...

Tapi kami bersyukur boleh menyaksikan pekerjaanNya...
Bapak Sahat dan Ibu Grace diberikan kemampuan luar biasa untuk memberikan kasih mereka pada Rosi...,kasihnya itu memampukannya, untuk mendidik Rosi dengan sangat baik. Salah satu yang boleh kami saksikan hasilnya adalah upaya mereka yang keras untuk memfasilitasi perkembangan pendidikan Rosi..,selain fasilitasi juga dari Sekolah.

Rosi bisa melakukan sebagian akitifas bina dirinya seperti menaikkan dan melepas celananya sendiri, membuka tuperware makanan sendiri, menutup tasnya, makan sendiri dengan rapih, bisa melap air liurnya sendiri, sudah mampu mengucapkan beberapa kata yang dibutuhkannya.

Rosi memberi inspirasi kepada kita semua..., Seringkali dia berurusan dengan medis...dan juga seringkali dia merasakan kesakitan yang begitu hebat....tapi keluhan dan erangannya sangat halus ...

Berbagai macam obat, infus dan suntikan yang harus di jalaninya, tetapi dia mampu menerimanya itu tanpa keluh ...

"Tidak ada satu keluargapun didunia ini yang siap menerima kehadiran penyandang kebutuhan khusus. Tapi di keluarga ini, kita bisa menyaksikan Tuhan memberi kekuatan dan energi yang luar biasa pada Sahat dan Grace..., mereka masih bisa tertawa lepas..mereka masih bisa liburan bersama Rosi ke Medan beberapa waktu lalu...., Sapaan Sahat dan Grace terhadap Rosi seolah menghadapi anak biasa saja....(satu hal yang langka terjadi). Kiranya ini menjadi inspirasi bagi kita semua...jangan pernah membatasi pekerjaan Allah... "


Segenap Keluarga Besar Rawinala turut berdukacita atas dipanggilNya salah satu murid kami yang bernama Rosita Hilda Nauli (12 Tahun). Pada hari Rabu, 10 Juni 2009 pukul 22.00 wib.Semoga kasih Kristus menyertai keluarga yang ditinggalkan.



Regard's



Rawinala Family


Tuesday, June 2, 2009

Sidhi Pertama yang dilakukan oleh GKJ



Anak Rawinala mengisi prosesi Sidhi yang dilakukan oleh GKJ (Gereja Kristen Jawa) yang ada di Bekasi pada tanggal 31 Mei 2009. Ini adalah Sidhi pertama kali yang diadakan di GKJ bagi anak berkebutuhan khusus.




Acara Sidhi di ikuti oleh empat orang yaitu Bagus, Nathan, Endah dan Ayu yang dipimpin langsung oleh Pdt. Oktavianus Heri Prasetyo Nugroho SSi

Perayaan Ulang Tahun Rawinala Ke-36



Perayaan Ulang Tahun Rawinala yang ke 36 Tahun

Kebersamaan dalam Sukacita



Sukacita sekalieee...1



Team work....!



Sibling Gathering In Tamini

Acara Sibling Gathering di Taman Mini Indonesia Indah yang diadakan oleh Keluarga besar Rawinala. Tema yang diusung oleh panitia adalah : Kebersamaan dalam Sukacita




Team Work Itu Sangat penting!



Melibatkan anak dalam kegiatan adalah tujuan kami agar terjalinnya kerjasama diantara anak dan keluarga


Sunday, April 26, 2009

Wednesday, April 1, 2009

Selamat Menempuh Hidup Baru

Ibu Sartini, beliau adalah pengasuh sekaligus pengajar di Asrama dan sekolah. Pada tanggal 21 Maret 2009 telah melangsungkan pernikahan di Magelang, semoga sukses dan bahagia selalu.


Pernikahan Ibu Sartini


Keluarga Besar Rawinala


Tim Musik Refreshing

Refreshing Tim Musik

TUNAGANDA HIDUP BAGAI ALIRAN AIR

Teman, dapatkah anda membayangkan pergaulan remaja tunaganda? Mereka memang tak kenal dengan rokok, gitar, atau gemerlapnya kehidupan malam di diskotik dan bar seperti kehidupan remaja di luar mereka. Tetapi, tahukah anda bahwa mereka juga membutuhkan perhatian seperti sebayanya yang merokok di diskotik itu?


Di Pusat Pendidikan Cacat Ganda (PPCG) Rawinala Jakarta Timur, sekitar 60 orang tunaganda belajar dan bergaul dengan sesamanya. Meski kondisi mereka berbeda satu sama lain, tapi mereka memiliki persamaan kecacatan pada penglihatan. Karena itulah, maka Direktur PPCG Sigid Widodo menamai mereka "gandanetra". Tunaganda di lembaga tersebut terdiri dari tunanetra-rungu, tunanetra-grahita dan tunanetra-daksa.


Menurut Sigid, remaja tunaganda mempunyai kebutuhan yang sama dengan remaja lain dalam perkembangan psikososialnya. Mereka perlu teman, kasih sayang, penghargaan dan sebagainya. Perbedaan hanya terdapat pada cara mengungkapkan kebutuhan itu dan kemampuan masyarakat untuk memahaminya.


"Ketika kita menyentuh atau menyapanya, tunaganda bereaksi, lho!" jelas Sigid. Reaksi ini tampak pada perubahan mimik wajah, gerak-gerik, tangisan atau suara-suara lain yang keluar dari mulutnya.

Dalam hal kebutuhan seksual, konsep senggama luput dari benak remaja tunaganda. Mereka hanya punya konsep melayani diri sendiri atau onani. Tanpa pengarahan, mereka akan melakukannya di sembarang tempat dan waktu.

"Perkembangan umur dan kebutuhan fisik tunaganda sama dengan yang lain, hanya cara menikmatinya yang beda," kata Sigid. Menurutnya, cara mereka menikmati sesuatu persis anak kecil. Seperti halnya anak kecil, mereka akan mengulangi terus hal-hal yang ia sukai.


Tentang cita-cita, tunaganda yang masih dapat berbicara biasanya akan menyebutkan keinginan yang sama dengan orang lain, misalnya menjadi dokter. Sayang sekali, perencaan masa depan juga luput dari kemampuannya. "Yah, hidup mereka mengalir saja," ujar Sigid.

Oleh : Sigid Widodo - Direktur



Sigid Widodo dan Para Tunaganda




Hasil berbagai pelatihan yang didapat Sigid dikembangkan dan kemudian dimodifikasi untuk program dan kurikulum di Yayasan Rawinala. Sistem pendidikannya pun ia bedakan dengan pendidikan sekolah untuk penyandang cacat yang ada.

Menurut Sigid, yayasannya tidak memakai kelas berjenjang atau naik kelas, tapi memakai kelas khusus yang disesuaikan dengan program dan usia siswa. Yayasan ini membuka kelas untuk anak usia dini hingga dewasa.


"Saat lulus dari sini mereka mempunyai keterampilan hidup yang optimal dan berkualitas, sebanyak mungkin ia mendapat keterampilan dalam hidupnya adalah tanda ia bisa," ujar Sigid yang mengaku Yayasan Rawinala satu-satunya yayasan pendidikan untuk ganda netra.


Yayasan Rawinala mempunyai empat program yang menjadi kurikulum pendidikannya atau disebut empat area. Pertama to life (hidup), to work (bekerja), to play (bermain), dan to love (menyayangi).


Sigid mengkritik model Kurikulum Pendidikan Luar Biasa yang masih menggunakan pendekatan Tujuan Intruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK). Menurut dia, model seperti itu kuno dan tidak kreatif. Guru-guru pendidikan luar biasa (PLB) tidak memahami problem secara jelas sehingga kegiatannya menjadi hanya rutinitas.

"Setiap guru di sini harus mempunyai planning agar murid tidak bosan dan stagnan, agar tahu apa yang harus dikerjakan. Karena kalau para pengajar tidak kreatif dan berpikir positif, mereka akan bosan juga menghadapi anak-anak itu," ujar Bendahara Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Indonesia ini.


Lambat laun Sigid merasakan kebutuhan Yayasan Rawinala semakin besar. Pengeluaran biaya tidak sedikit. Sementara pendapatannya hanya dari sumbangan donatur tidak tetap dan Pemda DKI Jakarta yang menutup 20% dari anggaran. "Bayangkan, tiap anak menghabiskan satu juta rupiah lebih per bulan untuk pendidikan dan hidup di sini. Belum lagi untuk membayar para guru dan karyawan. Sementara orang tua hanya bisa membayar 20 persen dari uang pendidikan per bulan," katanya.


Bapak dua anak ini pun nyaris bimbang dan putus asa di tengah tuntutan kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Tiga tahun lalu Sigid hampir saja memutuskan untuk keluar dari yayasan ini. Namun Sri Hanum Widistuti, istrinya, selalu memberikan motifasi dan masukan agar Sigid berpikir sebelum memutuskan niat itu. "Setelah saya pikir dan renungkan, ternyata ini memang sudah takdir Tuhan. Belum waktunya saya keluar. Mungkin sampai ada regenerasi yang bisa melanjutkan saya," katanya dengan nada rendah.


Sigid bersyukur karena kini teknologi semakin berkembang dan canggih. "Dulu kita tidak pernah berpikir seorang tunanetra bisa membaca. Sekarang siapa bilang orang lumpuh tidak bisa jalan, orang tunarungu tidak bisa mendengar, dan tunanetra tidak bisa melihat?" kata Sigid penuh semangat.