Konser Musik |
Sunday, April 26, 2009
Wednesday, April 1, 2009
Selamat Menempuh Hidup Baru
Pernikahan Ibu Sartini |
TUNAGANDA HIDUP BAGAI ALIRAN AIR
Teman, dapatkah anda membayangkan pergaulan remaja tunaganda? Mereka memang tak kenal dengan rokok, gitar, atau gemerlapnya kehidupan malam di diskotik dan bar seperti kehidupan remaja di luar mereka. Tetapi, tahukah anda bahwa mereka juga membutuhkan perhatian seperti sebayanya yang merokok di diskotik itu?
Di Pusat Pendidikan Cacat Ganda (PPCG) Rawinala Jakarta Timur, sekitar 60 orang tunaganda belajar dan bergaul dengan sesamanya. Meski kondisi mereka berbeda satu sama lain, tapi mereka memiliki persamaan kecacatan pada penglihatan. Karena itulah, maka Direktur PPCG Sigid Widodo menamai mereka "gandanetra". Tunaganda di lembaga tersebut terdiri dari tunanetra-rungu, tunanetra-grahita dan tunanetra-daksa.
Menurut Sigid, remaja tunaganda mempunyai kebutuhan yang sama dengan remaja lain dalam perkembangan psikososialnya. Mereka perlu teman, kasih sayang, penghargaan dan sebagainya. Perbedaan hanya terdapat pada cara mengungkapkan kebutuhan itu dan kemampuan masyarakat untuk memahaminya.
"Ketika kita menyentuh atau menyapanya, tunaganda bereaksi, lho!" jelas Sigid. Reaksi ini tampak pada perubahan mimik wajah, gerak-gerik, tangisan atau suara-suara lain yang keluar dari mulutnya.
Dalam hal kebutuhan seksual, konsep senggama luput dari benak remaja tunaganda. Mereka hanya punya konsep melayani diri sendiri atau onani. Tanpa pengarahan, mereka akan melakukannya di sembarang tempat dan waktu.
"Perkembangan umur dan kebutuhan fisik tunaganda sama dengan yang lain, hanya cara menikmatinya yang beda," kata Sigid. Menurutnya, cara mereka menikmati sesuatu persis anak kecil. Seperti halnya anak kecil, mereka akan mengulangi terus hal-hal yang ia sukai.
Tentang cita-cita, tunaganda yang masih dapat berbicara biasanya akan menyebutkan keinginan yang sama dengan orang lain, misalnya menjadi dokter. Sayang sekali, perencaan masa depan juga luput dari kemampuannya. "Yah, hidup mereka mengalir saja," ujar Sigid.
Oleh : Sigid Widodo - Direktur
Sigid Widodo dan Para Tunaganda
Hasil berbagai pelatihan yang didapat Sigid dikembangkan dan kemudian dimodifikasi untuk program dan kurikulum di Yayasan Rawinala. Sistem pendidikannya pun ia bedakan dengan pendidikan sekolah untuk penyandang cacat yang ada.
Menurut Sigid, yayasannya tidak memakai kelas berjenjang atau naik kelas, tapi memakai kelas khusus yang disesuaikan dengan program dan usia siswa. Yayasan ini membuka kelas untuk anak usia dini hingga dewasa.
"Saat lulus dari sini mereka mempunyai keterampilan hidup yang optimal dan berkualitas, sebanyak mungkin ia mendapat keterampilan dalam hidupnya adalah tanda ia bisa," ujar Sigid yang mengaku Yayasan Rawinala satu-satunya yayasan pendidikan untuk ganda netra.
Yayasan Rawinala mempunyai empat program yang menjadi kurikulum pendidikannya atau disebut empat area. Pertama to life (hidup), to work (bekerja), to play (bermain), dan to love (menyayangi).
Sigid mengkritik model Kurikulum Pendidikan Luar Biasa yang masih menggunakan pendekatan Tujuan Intruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK). Menurut dia, model seperti itu kuno dan tidak kreatif. Guru-guru pendidikan luar biasa (PLB) tidak memahami problem secara jelas sehingga kegiatannya menjadi hanya rutinitas.
"Setiap guru di sini harus mempunyai planning agar murid tidak bosan dan stagnan, agar tahu apa yang harus dikerjakan. Karena kalau para pengajar tidak kreatif dan berpikir positif, mereka akan bosan juga menghadapi anak-anak itu," ujar Bendahara Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Indonesia ini.
Lambat laun Sigid merasakan kebutuhan Yayasan Rawinala semakin besar. Pengeluaran biaya tidak sedikit. Sementara pendapatannya hanya dari sumbangan donatur tidak tetap dan Pemda DKI Jakarta yang menutup 20% dari anggaran. "Bayangkan, tiap anak menghabiskan satu juta rupiah lebih per bulan untuk pendidikan dan hidup di sini. Belum lagi untuk membayar para guru dan karyawan. Sementara orang tua hanya bisa membayar 20 persen dari uang pendidikan per bulan," katanya.
Bapak dua anak ini pun nyaris bimbang dan putus asa di tengah tuntutan kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Tiga tahun lalu Sigid hampir saja memutuskan untuk keluar dari yayasan ini. Namun Sri Hanum Widistuti, istrinya, selalu memberikan motifasi dan masukan agar Sigid berpikir sebelum memutuskan niat itu. "Setelah saya pikir dan renungkan, ternyata ini memang sudah takdir Tuhan. Belum waktunya saya keluar. Mungkin sampai ada regenerasi yang bisa melanjutkan saya," katanya dengan nada rendah.
Sigid bersyukur karena kini teknologi semakin berkembang dan canggih. "Dulu kita tidak pernah berpikir seorang tunanetra bisa membaca. Sekarang siapa bilang orang lumpuh tidak bisa jalan, orang tunarungu tidak bisa mendengar, dan tunanetra tidak bisa melihat?" kata Sigid penuh semangat.
KPU Belum Sosialisasikan Pemilu ke Penyandang Cacat
Hal tersebut terjadi karena anggaran KPU cukup minim, sehingga sulit bertindak lebih jauh dalam mensosialisasikan Pemilu kepada masyarakat terutama penyandang cacat, ujar Ketua KPU Kalsel melalui Kabag Umum, Logistik dan Keuangan Sekretariat KPU setempat, Drs.H.A.Djunaidi, MH di Banjarmasin, Jumat.
Menurut dia, berdasarkan hasil rapat yang dilaksanakan pemerintah daerah, memberi harapan baru kepada KPU karena dengan adanya Perpres Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Dukungan Kelancaran Penyelenggaraan Pemilu, pemerintah daerah harus membantu bila KPU mendapat kesulitan anggaran dalam pelaksanaan Pemilu ataupun sosialisasi.
Dengan adanya payung hukum tentang bantuan tersebut, KPU akan memprogramkan sosialisasi Pemilu kepada para penyandang cacat dan akan memberikan hak dan kewajiban yang sama pula kepada mereka seperti masyarakat lain.
Ia mengingatkan, KPU kabupaten/kota tidak usah ragu meminta bantuan kepada pemeritah daerah, bila dalam operasional dan pelaksanaan administrasi mengalami kekurangan anggaran terkait pelaksanaan Pemilu 2009 yang tinggal beberapa hari lagi.
Untuk itu, peran serta pemerintah daerah dalam menyukseskan Pemilu cukup besar, terutama bidang operasional dan administrasi. "Anggaran selama ini dirasakan sangat minim, tetapi dengan adanya bantuan pemerintah daerah KPU bisa bernapas lebih lega dan tidak perlu takut kekurangan anggaran Pemilu 2009," jelas Djunaidi.
Dalam kesempatan lain, salah seorang penyandang cacat disela-sela acara yang diadakan Dinas Sosial dan Dinas Kominfo Kota Banjarmasin menyatakan, pihaknya sama sekali belum mendapat sosialisasi secara khusus tentang Pemilu 2009.
"Padahal kami para penyandang cacat juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya dalam Pemilu," tandas penyandang cacat itu.
Penyandang cacat tersebut juga meminta kepada pemerintah agar memperhatikan nasib mereka, sejajar dengan hak dan kewajiban warga negara Indonesia. Kegiatan yang digelar Dinas Sosial dan Kominfo Kota Banjarmasin tersebut untuk memberi bekal pendidikan kepada para penyandang cacat agar bisa bersaing dengan masyarakat lain.
Pembekalan tersebut, antara lain mengenai pengetahuan tentang komputer dan internet yang merupakan tuntutan serta perkembangan teknologi informasi.
Aksesibilias Buat Penyandang Cacat
ADAKAH diantara kamu atau teman kamu yang memiliki “kekurangan” dalam anggota tubuhnya? Atau juga memiliki perilaku yang “tidak biasanya”? Bagaimana kamu memperlakukan kawan-kawan kamu yang seperti itu? Apa yang bisa kamu lakukan untuk “membantu mereka?”
Menurut Undang-undang Republik Indonesia no 4 tahun 1997 , tentang Penyandang cacat, Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya.
Kita mengenal beberapa jenis “kekurangan” misal tidak bisa melihat disebut tuna netra, tidak bisa mendengar disebut tuna rungu, tidak bisa berbicara : tuna wicara (coba kamu sebut lagi beberapa jenis kekurangan yang ada)
Walaupun mereka memiliki “kekurangan” namun Negara menjamin hak dan kewajiban yang sama bagi mereka, tidak boleh ada halangan, hambatan ataupun upaya penolakan dari masyarakat, lembaga pendidikan, perusahaan negara, swasta,dan juga pemerintah terhadap mereka. Semua harus mendukung dan memberi akses bagi penyandang cacat.
Berdasarkan Resolusi PBB no 47 tahun 1992, ditetapkanlah Hari Penyandang Cacat Internasional setiap tanggal 3 Desember.Hukum internasional untuk pemberi akses kepada penyandang cacat atau DIFABEL terdapat dalam Resolusi PBB tanggal 20 Desember 1993, artikel 19.
Salah satu bentuk yang harus dilakukan oleh semua daerah di pelosok dunia (termasuk di Indonesia) adalah memberikan aksesibilitas, yaitu lingkungan yang memberi kebebasan dan keamanan yang penuh terhadap semua orang tanpa adanya hambatan. Aksesibilitas juga berguna buat orang lanjut usia, semua orang yang mederita cacat, ibu hamil, anak-anak, orang yang mengangkat beban berat, dan sebagainya.
Contoh bentuk aksesibilitas adalah, memberi “tanjakan” atau ramp pada jalur tangga, supaya mereka yang menggunakan kursi roda atau yang tidak sanggup naik tangga tetap bisa melewatinya. Juga pegangan pada setian jalan, atau kamar mandi.
Nah kamu tentu tidak perlu kasihan lagi terhadap orang cacat kan? Sebab masalah terbesar bagi orang penyandang cacat adalah hambatan-hambatan yang ada di lingkungannya, bukan karena kecacatan mereka.***
(dari berbagai sumber)